Rabu, April 06, 2011

Al-Buka'un

"Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (At-Taubah: 92)

Ayat ini turun berkenaan dengan Perang Tabuk, perang yang dikenal dengan kondisi sulit. Karena pada waktu itu adalah puncak musim panas dan tentara Romawi yang akan dihadapi berjumlah sangat besar, sekitar 40.000 personil.

Rasulullah mengumumkan perang ini, tidak seperti biasanya, dan menghimbau para orang kaya untuk menyumbangkan harta kekayaan mereka. Maka berduyun-duyun kaum Muslimin menginfakkan harta mereka. Abu Bakar RA menyerahkan seluruh harta beliau. Umar bin Khattab RA menyerahkan separo dari harta yang dimiliki, Utsman RA menyerahkan 300 Onta dan uang sebanyak 1000 dinar. Semangat fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan) pekat mewarnai persiapan perang ini. Namun tetap saja, manakala sekelompok sahabat datang menghadap Rasulullah untuk meminta kendaraan, agar dapat membawa mereka ke Tabuk Rasulullah tak dapat memenuhinya. Persiapan maksimal ekspedisi Tabuk tetap belum dapat mengajak semua para sahabat yang tak memiliki kendaraan sendiri. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan perjalanan, akhirnya tanpa perlawanan kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Tentara Romawi kabur dari Tabuk, kemudian Gubernur Ailah serta penduduk Jarba dan Adzrah mengajukan permohonan damai dan bersedia membayar jizyah.

Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan kesedihan kaum beriman yang dalam dada mereka kental dengan ruhhul jihad, namun tak memiliki kendaraan untuk ke Tabuk; para al Buka'un (orang-orang yang menangis) mereka yang menangis dengan segenap sedih karena tak mampu untuk turut menemani Rasulullah menegakkan panji-panji Islam di Tabuk, turut berqital (perang) di jalan Allah. Ayat ini adalah penghargaan Allah, pengakuan sekaligus pemuliaan Allah atas mereka. Allah mengabadikan perasaan tulus mereka dalam Kitab Yang Suci, agar para penerus risalah dien ini dapat memetik ibroh, pelajaran berharga, agar para pene- gak risalah Al Islam dapat memperbandingkan antara perasaan mereka ketika mendengar seruan Allah dan RasulNya, ketika melangkah dalam jalan panjang da'wah dengan perasaan para al Buka'un ini.

Al Buka'un, mereka menangis dan kembali ke rumah-rumah mereka dengan perasaan teriris, merana tak dapat pergi ke Tabuk di hari yang sangat panas. Mereka sedih melepas Rasulullah tanpa menyertai beliau di hari sulit menghadapi tentara besar Romawi. Mengapa mereka mesti menangis, padahal banyak manusia yang datang menghadap Rasulullah untuk memohon izin tak ikut pergi ke Tabuk dengan berbagai alasan yang dibuat-buat? Padahal Abdullah bin Saba dan kaum- nya pergi membuat kemah yang sejuk dan merasa senang tidak pergi ke Tabuk? Padahal bukankah lebih nyaman tinggal di Madinah, lagi pula mereka miskin tak mempunyai kendaraan? Mengapa?

Itulah rahasia ketulusan hati mereka. Mereka adalah jenis manusia yang siddiq, yang benar perjanjiannya dengan Allah dan RasulNya, yang selalu akan patuh pada perintah Allah dan RasulNya. Lalu akankah mereka diam dan bersama-sama dengan orang-orang yang duduk sementara Rasulullah berpanas-panas dan berdebu pergi ke Tabuk? Dapatkah hati mereka, yang pekat dengan rasa cinta kepada Allah dan RasulNya, pada al Islam dan perjuangan di jalanNya tentram memandang kepergian junjungannya Rasulullah SAW berangkat ke Tabuk di hari yang sangat panas untuk jihad fisabilillah, sementara mereka diam-diam saja di rumah yang sejuk? Dapatkah hati mereka tenang menghadapi kepergian dan gegap-gempita kaum Muslim pergi ke medan qital dan meninggalkan mereka bersama-sama kaum munafiq? Dapatkah mereka melepaskan kesempatan mendapat kemuliaan menang atau masti syahid, berjuang bersama kecintaan mereka Rasulullah Muhammad? Dapatkah mereka membatalkan perniagaan mereka kepada Allah untuk berjihad di jalanNya dengan jiwa dan harta mereka dengan imbalan jannah?

Bagi mereka tinggal bersama kaum munafiq hanyalah meruntuhkan izzah (kebanggaan). Melepaskan Rasulullah yang mereka cintai berjuang tanpa membelanya adalah kerendahan akhlaq yang tak terampuni. Dan memutuskan perniagaan terhadap Allah secara sefihak adalah menistakan diri sendiri.

Itulah perasaan mereka. Hancur-luluh, sedih, merana. Bagai teriris sembilu hati mereka manakala derak pasukan berangkat dan suara onta melenguh gembira menuju Tabuk. Sedih sebagai orang yang tak mampu, sebagai orang yang tak berguna, sedih sebagai orang yang rela duduk, sedih sebagai orang yang bodoh melepaskan kesempatan mulia. Maka Allah Yang Maha pengasih lagi penyayang ridha akan perasaan mereka dan mengampuni mereka, karena sebenarnya mereka adalah orabg-orang yang bersungguh-sungguh. Allah menghibur mereka, Allah memuliakan mereka, bahwa tak ada dosa bagi mereka atas ketidakmampuan mereka.

Al Buka'un, semestinya kita bercermin pada perasaan dan akhlaq mulia mereka.

Wallahu 'alam bishawab

Wassalam,
abu zahra

------------
tarbiyah@isnet.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar